Selasa, 30 Juli 2013

AKUNTANSI SYARIAH ( BAB II-3 TRANSAKSI YANG DI LARANG SYARIAT ISLAM )




TRANSAKSI YG DILARANG SYARIAT ISLAM          

Dalam ibadat kaedah hukum yang berlaku adalah bahwa semua hal dilarang, kecuali  yang ada ketentuannya berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Sedangkan dalam urusan muamalat, semuanya diperbolehkan kecuali  ada dalil yang melarangnya.  
Ini berarti ketika suatu transaksi baru muncul dimana belum  dikenal sebelumnya dalam hukum Islam, maka transaksi tersebut  dianggap dapat diterima, kecuali terdapat implikasi dari dalil Quran dan Hadist yang melarangnya secara eksplisit maupun implisit.  Jadi dalam
bidang muamalat, semua transaksi dibolehkan kecuali yang diharamkan.   

Penyebab terlarangnya sebuah transaksi adalah disebabkan factor faktor di bawah ini:
1. Haram zatnya / haram li-dzatihi 
2. Haram selain zatnya / haram li ghairihi
3. Tidak sah/lengkap akadnya

HARAM ZAT-NYA
Transaksi dilarang karena obyek (barang dan/atau jasa) yang ditransaksikan juga dilarang.  Misalkan minuman keras, bangkai, daging babi, dsb.  Jadi transaksi jual-beli minuman keras adalah haram, walaupun akad jual-belinya sah.  Dengan demikian, bila ada nasabah yang mengajukan pembiayaan pembelian minuman keras kepada bank dengan menggunakan akad murabahah, maka walaupun

Penyebab dilarangnya transaksi
- Haram zatnya
- Haram selain zatnya

1. Tadlis
2. Ikhtikar
3. Bai’ Najasy
4. Taghrir (Gharar)
5. Riba

- Tidak sah akadnya
1. Rukun tidak terpenuhi; 
2. Syarat tidak terpenuhi;
3. Terjadi Ta’alluq;
4. Terjadi “2 in 1”.

HARAM SELAIN ZAT-NYA
I.   Melanggar Prinsip “An Taraddin Minkum”

Tadlis.
Setiap transaksi dalam Islam harus didasarkan pada prinsip kerelaan antara kedua belah pihak (sama-sama ridha).  Mereka harus mempunyai informasi yang sama (complete information) sehingga tidak ada pihak yang merasa dicurangi/ditipu karena ada suatu yang unknown to one party  (keadaan di mana salah satu pihak tidak mengetahui informasi yang diketahui pihak lain, ini disebut juga assymetric information).  Unknown to one party dalam bahasa fikihnya disebut tadlis, dan dapat terjadi dalam 4 (empat) hal, yakni dalam:


1. Kuantitas;
2. Kualitas;
3. Harga; dan
4. Waktu Penyerahan 
Tadlis dalam kuantitas contohnya adalah pedagang yang mengurangi takaran/timbangan barang yang dijualnya.  Dalam kualitas contohnya adalah penjual yang menyembunyikan cacat barang yang ditawarkannya. Tadlis dalam harga contohnya adalah memanfaatkan ketidaktahuan pembeli akan harga pasar dengan menaikkan harga produk di atas harga pasar.  Misalkan seorang tukang becak yang menawarkan jasanya kepada turis asing dengan menaikkan tarif becaknya 10 kali lipat dari tarif normalnya.  Hal ini dilarang karena turis asing tersebut tidak mengetahui harga pasar yang berlaku. Dalam istilah fikih, tadlis harga ini disebut ghaban.  Bentuk tadlis yang terakhir, yakni  tadlis dalam waktu penyerahan, contohnya adalah petani buah yang menjual buah di  luar musimnya padahal si petani tahu bahwa dia tidak dapat menyerahkan buah yang dijanjikannya itu pada waktunya.  Demikian pula dengan konsultan yang berjanji untuk menyelesaikan proyek dalam waktu 2 bulan untuk memenangkan tender, padahal konsultan tersebut tahu bahwa proyek itu tidak dapat diselesaikan dalam batas waktu tersebut.

Dalam keempat bentuk tadlis di atas, semuanya melanggar prinsip rela-sama-rela. Keadaan sama-sama rela yang dicapai bersifat sementara, yakni sementara pihak yang ditipu tidak mengetahui bahwa dirinya ditipu.  Di kemudian hari, yaitu ketika pihak yang ditipu tahu bahwa dirinya ditipu, maka ia tidak merasa rela.

II.Melanggar Prinsip “La Tazhlimuna wa la tuzhlamun”

Prinsip kedua yang tidak boleh dilanggar adalah prinsip  la tazhlimuna wa la tuzhlamun,  yakni jangan menzalimi dan jangan dizalimi.  Praktek-praktek yang melanggar prinsip ini di antaranya:
1. Rekayasa Pasar (dalam supply maupun demand)
2. Taghrir (Gharar)
3. Riba

1.  Rekayasa Pasar dalam Supply (Ikhtikar).  
Rekayasa pasar dalam  supply terjadi bila seorang produsen/ penjual mengambil keuntungan di atas keuntungan normal dengan cara mengurangi  supply agar harga produk yang dijualnya naik.  Hal ini dalam istilah fikih disebut  ikhtikar.   Ikhtikar biasanya dilakukan dengan membuat  entry barrier, yakni menghambat produsen/penjual lain masuk ke pasar, agar ia  menjadi pemain tunggal di pasar (monopoli).  Karena itu, biasanya orang menyamakan ikhtikar dengan monopoli dan penimbunan,  padahal tidak selalu seorang monopolis melakukan  ikhtikar.   Demikian pula tidak setiap penimbunan adalah ikhtikar.  BULOG juga melakukan penimbunan, tetapi justeru untuk menjaga kestabilan harga dan pasokan.  Demikian pula dengan negara apabila memonopoli sektor industri yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak, bukan dikategorikan sebagai  ikhtikar.  Ikhtikar terjadi bila syarat-syarat di bawah ini terpenuhi:


a. Mengupayakan adanya kelangkaan barang baik dengan cara menimbun stock atau mengenakan entry-barriers
b. Menjual dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan harga
sebelum munculnya kelangkaan
c. Mengambil keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan

2.  Rekayasa Pasar dalam demand (Bai’ Najasy).  
Rekayasa pasar dalam  demand terjadi bila seorang produsen /pembeli menciptakan permintaan palsu, seolah-olah ada banyak permintaan terhadap suatu produk sehingga harga jual produk itu akan naik.  Hal ini terjadi misalnya dalam bursa saham (praktek goreng-menggoreng saham), bursa valas, dll.  Cara yang ditempuh bisa bermacam-macam, mulai dari menyebarkan isu, melakukan order pembelian, sampai benar-benar melakukan pembelian pancingan agar tercipta sentimen pasar untuk ramai-ramai membeli saham/mata uang tertentu.  Bila harga sudah naik sampai level yang diinginkan, maka yang bersangkutan akan melakukan aksi ambil untung dengan melepas kembali saham/mata uang  yang sudah dibeli, sehingga ia akan mendapatkan untung besar.  Rekayasa demand ini dalam istilah fikihnya disebut dengan bai’ najasy.

3. Taghrir (Gharar).
Gharar  atau disebut juga  taghrir adalah situasi di mana terjadi incomplete information karena adanya  uncertainty to both parties (ketidak pastian dari kedua belah  pihak yang bertransaksi).  Dalam tadlis,  yang terjadi adalah pihak A tidak mengetahui apa yang diketahui pihak B (unknown to one party).  Sedangkan dalam  taghrir, baik pihak A maupun pihak B sama-sama tidak memiliki kepastian mengenai sesuatu yang ditransaksikan (uncertain to both parties).  Gharar  ini terjadi bila kita merubah sesuatu yang seharusnya bersifat pasti (certain) menjadi tidak pasti (uncertain).  Contoh: Sebagai karyawan, kita menandatangani kontrak kerja di suatu perusahaan dengan gaji Rp. 1.100.000,-/bulan.  Kontrak ini bersifat pasti dan mengikat kedua belah pihak, sehingga tidak boleh ada pihak yang merubah kesepakatan yang sudah pasti itu menjadi tidak pasti.  Misalnya merubah sistem gaji Rp.  1,1 juta/bulan tersebut menjadi sistem bagi hasil dari keuntungan  perusahaan.   Hal yang sama juga berlaku bagi kontrak jual-beli dan sewa-menyewa.   Sebagaimana dalam tadlis, maka gharar dapat juga terjadi dalam 4 (empat) hal, yakni:
1. Kuantitas;
2. Kualitas;
3. Harga; dan
4. Waktu
Bila salah satu (atau lebih) dari  faktor-faktor di atas dirubah dari certain menjadi uncertain, maka terjadilah gharar. Gharar dalam kuantitas terjadi dalam kasus ijon, di mana penjual menyatakan akan membeli buah yang belum nampak di pohon seharga Rp X.  Dalam hal ini terjadi ketidakpastian mengenai berapa kuantitas buah yang dijual, karena memang tidak disepakati sejak awal.  Bila panennya 100 kg, harganya Rp X.  Bila panennya 50 kg, harganya Rp X pula.  Bila tidak panen, maka harganya Rp X juga. Contoh  gharar  dalam kualitas adalah seorang peternak yang menjual anak sapi yang masih dalam kandungan induknya.  Dalam kasus ini terjadi ketidakpastian dalam hal kualitas objek transaksi, karena tidak ada jaminan bahwa anak sapi tersebut akan lahir dengan sehat tanpa cacat, dan dengan  spesifikasi kualitas tertentu.  Bagaimanapun kondisi anak sapi yang nanti akan keluar dari induk sapi itu (walaupun terlahir dalam keadaan mati misalnya) harus diterima oleh si pembeli dengan harga yang sudah disepakati. Gharar dalam harga terjadi bila misalkan bank syariah menyatakan akan memberi pembiayaan murabahah rumah 1 tahun dengan margin 20% atau 2 tahun dengan margin 40%, kemudian disepakati oleh nasabah.  Ketidakpastian terjadi karena harga yang disepakati tidak jelas, apakah 20% atau 40%.  Kecuali bila nasabah menyatakan “setuju melakukan transaksi murabahah rumah dengan margin 20% dibayar 1 tahun”, maka barulah tidak terjadi gharar.Contoh  gharar  dalam waktu penyerahan terjadi bila seseorang menjual barang yang hilang misalnya, seharga Rp X dan disetujui oleh si pembeli.  Dalam kasus ini terjadi ketidakpastian mengenai waktu Certainty (pasti) Uncertainty (tidak pasti) gharar penyerahan, karena si penjual  dan pembeli sama-sama tidak tahu kapankah barang yang hilang itu dapat ditemukan kembali. Dalam keempat bentuk  gharar  di atas, keadaan sama-sama rela yang dicapai bersifat sementara, yaitu sementara keadaannya masih tidak jelas bagi kedua belah pihak.  Di kemudian hari yaitu ketika keadaannya telah jelas, salah satu pihak (penjual atau pembeli) akan
merasa terzalimi, walaupun pada awalnya tidak demikian.  
4. Riba
Dalam ilmu fikih, dikenal 3 (tiga) jenis riba, yaitu:
a. Riba Fadl
b. Riba Nasiah
c. Riba Jahiliyah
a. Riba Fadl
Riba Fadl disebut juga  riba buyu’ yaitu riba yang timbul akibat pertukaran barang sejenis yang tidak memenuhi kriteria sama kualitasnya (mistlan bi mistlin), sama kuantitasnya (sawa-an bi sawain) dan sama waktu penyerahannya (yadan bi yadin).  Pertukaran semisal ini mengandung gharar yaitu ketidakjelasan bagi kedua pihak akan nilai masing-masing barang yang dipertukarkan.  Ketidakjelasan ini dapat menimbulkan tindakan zalim terhadap salah satu pihak, kedua pihak, dan pihak-pihak lain.  Contoh berikut ini akan memperjelas adanya gharar.
Ketika kaum Yahudi kalah dalam  perang Khaibar, maka harta mereka diambil sebagai rampasan perang (ghanimah), termasuk diantaranya adalah perhiasan yang terbuat dari emas dan perak.  Tentu saja perhiasan tersebut bukan gaya hidup kaum muslimin yang sederhana.  Oleh karena itu, orang Yahudi berusaha membeli perhiasannya yang terbuat dari emas dan perak tersebut, yang akan dibayar dengan uang yang terbuat  dari emas (dinar) dan uang yang terbuat dari perak (dirham).  Jadi sebenarnya yang akan terjadi bukanlah jual beli, namun pertukaran barang yang sejenis.  Emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak. Perhiasan perak dengan berat yang setara dengan 40 dirham (satu uqiyah) dijual oleh kaum muslimin kepada kaum Yahudi seharga dua atau tiga dirham, padahal nilai perhiasan perak seberat satu  uqiyah jauh lebih tinggi dari sekedar 2-3 dirham.Jadi muncul ketidak-jelasan (gharar) akan nilai perhiasan perak dan nilai uang perak (dirham). Mendengar hal tersebut Rasulullah SAW mencegahnya dan bersabda: “Dari Abu Said al-Khudri ra, Rasul SAW bersabda: Transaksi pertukaran emas dengan emas harus sama takaran, timbangan dan tangan ke tangan (tunai), kelebihannya adalah riba; perak dengan perak harus sama takaran dan timbangan dan tangan ke tangan (tunai), kelebihannya adalah riba; gandum dengan gandum harus sama takaran, timbangan dan tangan ke tangan (tunai), kelebihannya adalah riba; tepung dengan tepung harus sama takaran, timbangan dan tangan ke tangan (tunai), kelebihannya adalah riba; korma dengan korma harus sama takaran, timbangan dan tangan ke tangan (tunai), kelebihannya adalah riba; garam dengan garam harus sama takaran, timbangan dan tangan ke tangan (tunai), kelebihannya adalah riba.” (Riwayat Muslim). Di luar keenam jenis barang ini dibolehkan asalkan dilakukan penyerahannya pada saat yang sama.  Rasul SAW bersabda :  “Jangan kamu bertransaksi satu dinar dengan dua dinar; satu dirham dengan dua dirham; satu sha’ dengan dua sha’ karena aku khawatir akan terjadinya riba (al-rama). Seorang bertanya: ‘wahai Rasul, bagaimana jika seseorang menjual seekor kuda dengan beberapa ekor kuda dan seekor unta dengan beberapa ekor unta? Jawab Nabi SAW: “Tidak mengapa, asal dilakukan dengan tangan ke tangan (langsung).” (HR Muslim). Dalam perbankan,  riba fadl dapat ditemui dalam transaksi jual beli valuta asing yang tidak dilakukan dengan cara tunai (spot).
b. Riba Nasi’ah
Riba Nasi’ah disebut juga riba duyun yaitu riba yang timbul akibat hutang-piutang yang tidak memenuhi kriteria untung muncul bersama resiko (al ghunmu bil ghurmi) dan hasil usaha muncul bersama biaya (al kharaj bi dhaman).  Transaksi semisal ini mengandung pertukaran kewajiban menanggung beban, hanya karena berjalannya waktu.   Nasi’ah adalah penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba Nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan atau tambahan antara barang yang diserahkan hari ini dengan barang yang diserahkan kemudian.  Jadi al ghunmu (untung) muncul tanpa adanya al ghurmi (resiko), hasil usaha (al kharaj) muncul tanpa adanya biaya (dhaman); al ghunmu dan al kharaj muncul hanya dengan berjalannya waktu.  Padahal dalam bisnis selalu ada kemungkinan untung dan rugi.  Memastikan sesuatu yang diluar wewenang manusia adalah bentuk kezaliman.  Padahal justru itulah yang terjadi dalam riba nasi’ah, yakni  terjadi perubahan sesuatu yang seharusnya bersifat  uncertain (tidak pasti) menjadi  certain  (pasti).  Pertukaran kewajiban menanggung beban  (exchange of liability) ini, dapat menimbulkan tindakan zalim terhadap salah satu pihak, kedua pihak, dan pihak-pihak lain.  Pendapat Imam Sarakhzi akan memperjelas hal ini. “Riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya padanan (iwad) yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut” (Imam Sarakhsi dalam al-Mabsut, juz. XII., hal.109). Dalam perbankan konvensional,  riba nasi’ah dapat ditemui dalam pembayaran bunga kredit dan pembayaran bunga deposito, tabungan, giro, dll.  Bank sebagai kreditur yang memberikan pinjaman mensyaratkan pembayaran bunga yang besarnya tetap dan ditentukan terlebih dahulu di awal transaksi (fixed and predetermined rate).  Padahal nasabah yang mendapatkan pinjaman itu tidak mendapatkan keuntungan yang  fixed and predetermined  juga, karena dalam bisnis selalu ada kemungkinan rugi, impas atau untung, yang besarnya tidak dapat ditentukan dari awal.  Jadi, mengenakan tingkat bunga untuk suatu pinjaman merupakan tindakan yang memastikan sesuatu yang tidak pasti, karena itu diharamkan. QS Al Hasyr 18 dan QS Luqman 34: “Wama tadri nafsun ma dza taksibu ghadan”(dan seorang itu tidak mengetahui apa yang dihasilkannya esok)

Bunga dan time value of money.

Para pendukung konsep bunga mendasarkan argumentasi mereka dengan prinsip time value of money yang didefinisikan sebagai berikut: A dollar today is worth more  than a dollar in the future because a dollar today can be invested to get a return

Definisi ini tidak akurat karena setiap investasi selalu mempunyai kemungkinan untuk mendapat  return  positif, negatif, atau nol.  Itu sebabnya dalam teori  finance, selalu dikenal  risk-return relationship.  Namun, sebenarnya penerapan  time value of money pun tidak senaif yang dibayangkan, misalnya dengan mengabaikan ketidakpastian return yang akan diterima.  Bila unsur  ketidakpastian return ini dimasukkan, ekonom konvensional menyebut kompensasinya sebagai discount rate.  Jadi istilah  discount rate lebih bersifat umum dibandingkan istilah interest rate. Dalam eknomi konvensional, ketidak-pastian  return dikonversi menjadi suatu kepastian melalui premium for uncertainty. Dalam setiap investasi tentu selalu ada probabiliti untuk mendapat  positif return, negative return,  dan no return.  Adanya probabiliti inilah yang menimbulkan uncertainty (ketidakpastian).  Probabiliti untuk mendapat negative return  dan no return ini yang dipertukarkan (exchange of liabilities) dengan suatu yang pasti yaitu premium for uncertainty.
                                               
c. Riba Jahiliyah
Riba Jahiliyah adalah hutang yang dibayar melebihi dari pokok pinjaman, karena si peminjam tidak mampu mengembalikan dana pinjaman pada waktu yang telah ditetapkan
.  Riba Jahiliyah dilarang karena terjadi pelanggaran kaedah  “Kullu Qardin Jarra Manfa’ah Fahuwa Riba” (setiap pinjaman yang mengambil manfaat adalah riba).  Memberi pinjaman adalah transaksi kebaikan (tabarru’), sedangkan meminta kompensasi adalah transaksi bisnis (tijarah).  Jadi, transaksi yang dari semula diniatkan sebagai transaksi kebaikan tidak boleh dirubah menjadi transaksi yang bermotif bisnis. Dari segi penundaan waktu penyerahannya,  riba jahiliyah tergolong Riba Nasi’ah; dari segi kesamaan objek yang dipertukarkan, tergolong Riba Fadl.  Tafsir Qurtuby menjelaskan: “Pada Zaman Jahiliyah para kreditur, apabila hutang sudah jatuh tempo, akan berkata kepada para debitur : “Lunaskan hutang anda sekarang, atau anda tunda  pembayaran  itu dengan  tambahan”.  Maka pihak debitur harus menambah jumlah kewajiban pembayaran hutangnya dan kreditur menunggu waktu pembayaran kewajiban tersebut sesuai dengan ketentuan baru.” (Tafsir Qurtubi, 2/ 1157).Dalam perbankan konvensional, riba jahiliyah dapat ditemui dalam pengenaan bunga pada transaksi kartu kredit yang tidak dibayar penuh tagihannya. Dari definisi  riba, sebab (illat) dan tujuan (hikmah) pelarangan riba, maka dapat diidentifikasi praktek perbankan konvensional yang tergolong riba.  Riba fadl dapat ditemui dalam transaksi jual beli valuta asing yang tidak dilakukan secara tunai.   Riba nasi’ah dapat ditemui dalam transaksi pembayaran bunga kredit dan pembayaran bunga tabungan/deposito/giro.  Riba jahiliyah dapat ditemui dalam transaksi kartu kredit yang tidak dibayar penuh tagihannya.
                                                
TIDAK SAH/LENGKAP AKADNYA
Suatu transaksi yang tidak masuk dalam kategori haram li dzatihi maupun  haram li ghairihi,  belum tentu serta-merta menjadi halal.   Masih ada kemungkinan transaksi tersebut menjadi haram bila akad atas transaksi itu tidak sah atau tidak lengkap.  Suatu transaksi dapat dikatakan tidak sah dan/atau tidak lengkap akadnya, bila terjadi salah satu (atau lebih) faktor-faktor berikut ini: 
1. Rukun dan Syarat tidak terpenuhi; 
2. Terjadi Ta’alluq;
3. Terjadi “two in one”.


1.   Rukun dan Syarat
Rukun adalah sesuatu yang wajib ada dalam suatu transaksi (necessary condition), misalnya ada penjual dan pembeli.  Tanpa adanya penjual dan pembeli, maka jual-beli tidak akan ada.  Pada umumnya,  rukun dalam  muamalah iqtishadiyah (muamalah dalam bidang ekonomi) ada 3 (tiga)
yaitu:
a. Pelaku
b. Objek
c. Ijab-Kabul
Pelaku bisa berupa penjual-pembeli (dalam akad jualbeli), penyewa-pemberi sewa (dalam akad sewa-menyewa), atau penerima upah-pemberi upah (dalam akad upahmengupah), dll.  Tanpa pelaku maka tidak ada transaksi. Objek transaksi dari semua akad di atas dapat berupa barang atau jasa.  Dalam akad jual-beli mobil, maka objek transaksinya adalah mobil.  Dalam akad-menyewa rumah, maka objek transaksinya adalah rumah, demikian seterusnya.  Tanpa objek transaksi, mustahil transaksi akan tercipta. Selanjutnya, faktor lainnya yang mutlak harus ada supaya transaksi dapat tercipta adalah adanya kesepakatan antara kedua belah pihak yang bertransaksi.  Dalam terminologi fikih, kesepakatan  bersama ini disebut  ijab-kabul.   Tanpa ijab-kabul, mustahil pula transaksi akan terjadi.   Dalam kaitannya dengan kesepakatan ini, maka akad dapat menjadi batal bila terdapat:
a. Kesalahan/kekeliruan obyek;
b. Paksaan (ikrah)
c. Penipuan (tadlis) 
Bila ketiga rukun di atas terpenuhi, maka transaksi yang dilakukan sah.  Namun bila rukun di atas tidak terpenuhi (baik satu rukun atau lebih), maka transaksi menjadi batal. Selain rukun, faktor yang harus ada supaya akad menjadi sah/lengkap adalah  syarat.   Syarat  adalah sesuatu yang Selain rukun yang umum yang tiga di atas, ada lagi rukun khusus untuk akad-akad tertentu.  Misalnya dalam akad syirkah, tiga rukun umum di atas ditambah lagi dengan satu rukun khusus, yaitu nisbah.  Begitu pula dengan akad lainnya, ada juga tambahan rukun khususnya. keberadaannya melengkapi rukun (sufficient condition).  Contohnya adalah bahwa pelaku transaksi haruslah orang yang cakap hukum (mukallaf).  Bila  rukun sudah terpenuhi tetapi  syarat tidak dipenuhi, maka  rukun menjadi tidak lengkap sehingga transaksi tersebut menjadi  fasid  (rusak).  Demikian menurut Mazhab Hanafi. Syarat bukanlah rukun, jadi tidak boleh dicampuradukkan.  Di lain pihak, keberadaan syarat tidak boleh:
a. Menghalalkan yang haram;
b. Mengharamkan yang halal;
c. Menggugurkan rukun;
d. Bertentangan dengan rukun;atau
e. Mencegah berlakunya rukun.









2.  Ta’alluq
Ta’alluq  terjadi bila kita dihadapkan pada dua akad yang saling dikaitkan, di maka berlakunya akad 1 tergantung pada akad 2. Contoh: misalkan A menjual barang X seharga Rp 120 juta secara cicilan kepada B, dengan syarat bahwa B harus kembali menjual barang X tersebut kepada A secara tunai seharga Rp 100 juta.   Gambar 3.7. Bai’ al-‘Inah A  Jual X  Bsecara cicilan Rp 120 juta Jual X secara tunai Rp 100 juta Bai’ al-‘Inah dengan syarat Transaksi di atas haram, karena ada persyaratan bahwa A bersedia menjual barang X ke B asalkan B kembali menjual barang tersebut kepada A.  Dalam kasus ini, disyaratkan bahwa akad 1 berlaku efektif bila akad 2 dilakukan.  Penerapan syarat ini mencegah terpenuhinya rukun.  Dalam terminologi fikih, kasus di atas disebut  bai’ al-‘Inah.


3.  “Two in one”
Two in one  adalah kondisi di mana suatu transaksi diwadahi oleh dua akad sekaligus, sehingga terjadi ketidakpastian (gharar) mengenai akad mana yang harus digunakan/berlaku.  Dalam terminologi fikih, kejadian ini disebut dengan shafqatain fi al-shafqah.  Two in one terjadi bila semua dari ketiga faktor di bawah ini terpenuhi:
a. Objek sama
b. Pelaku sama
c. Jangka waktu sama
Bila satu saja dari faktor di atas tidak terpenuhi, maka two in one tidak terjadi, dengan demikian akad menjadi sah. Contoh dari  two in one adalah transaksi  lease and purchase  (sewa-beli).  Dalam transaksi ini, terjadi  gharardalam akad,  karena ada ketidakjelasan akad mana yang berlaku: akad beli atau akad  sewa.  Karena itulah maka transaksi sewa-beli ini diharamkan. 

Artikel Terkait

0   komentar

Posting Komentar

Cancel Reply
W E L C O M E